Cari Blog Ini

Sabtu, 21 Juni 2014

PEMANFAATAN TUMBUHAN AIR SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN DUA VARIETAS CABAI BESAR (Capsicum annum L.) YANG DIBUDIDAYAKAN DENGAN SISTEM AMBUL




I.     PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang 
            Cabai besar (Capsicum annum L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang cukup penting ditinjau dari segi ekonomi dan kandungan gizinya. Tanaman ini merupakan sayuran  semusim, yang diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai penyedap makanan, obat-obatan, dan penghangat badan. Kandungan gizi yang cukup tinggi, terutama Vitamin A, Vitamin C, serta mengandung minyak etiris penyebab rasa pedas yang disebut capsaisin (CH18H27NO3) (Sunaryono, 1992). Cabai tidak hanya digunakan untuk konsumsi rumah tangga seperti bumbu dapur tetapi juga digunakan dalam industri pengolahan makanan seperti saos cabai, bumbu mie instan dan industri, karena mengandung senyawa capsaikin, capsikidin dan capsikol. Pemanfaatan cabai sebagai produk olahan dan bahan baku industri menjadikan cabai sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (Bernardinus dan Wiryanta, 2002).

Produksi cabai Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan data Pusat Statistik Kalimantan Tengah khususnya kota Palangka Raya pada tahun 2011 sebesar 8,38 ton ha-1, dengan luas panen 42 ha sehingga produksi total 352 ton (Badan Pusat Statistik, 2011). Rendahnya produksi cabai tersebut, tidak sebanding dengan kebutuhan pasar yang semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan cabai di kota Palangka Raya selama ini harus mendatangkan atau memasok dari daerah lain khususnya Provinsi Kalimantan Selatan dan Jawa  (Ryan, 2004). Kebutuhan pasar yang cukup meningkat dan harga jual yang cukup tinggi merupakan salah satu motivasi yang dapat mendorong petani cabai merah besar untuk dapat mengembangkan usaha taninya, akan tetapi sampai saat ini perhatian masyarakat Kalimantan Tengah khususnya kota Palangka Raya dalam membudidayakan tanaman cabai merah besar masih kurang. Salah satu faktor penyebab kurangnya minat masyarakat tersebut adalah karena besarnya biaya dan minimnya ilmu pengetahuan masyarakat tentang serangan penyakit busuk buah sehingga buah tidak dapat di panen merah.
Menurut Setiadi (1999), secara umum tanaman cabai dapat ditanam diberbagai jenis tanah. Tanah yang memenuhi syarat ialah tanah yang menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, yaitu tanah yang subur dan kaya bahan organik. Dilihat dari keadaan lahan di Kalimantan Tengah khususnya kota Palangka Raya, dimana kondisi lahan banyak termasuk lahan  rawa gambut, rawa lebak dan  rawa sulfat  masam. Sulfat masam yang berada di daerah pinggiran sungai pasang surut tersebut terletak di pulang pisau, dan kapuas. Lahan tersebut sangat susah sebagai lahan budidaya tanaman. Lahan  selalu  tergenang  oleh  air  yang  mencapai  kedalaman  ± 2-7 m.
Melihat permasalahan diatas maka pada penelitian ini dicobakan penanaman tanaman cabai yang dilakukan pada media tanam dengan sistem ambul. Ambul merupakan istilah yang digunakan oleh pencari ikan di Danau Bangkau Kalimantan Selatan. Desa Bangkau merupakan desa yang terendam air pada bulan-bulan  tertentu. Rawa jenis ini didominasi oleh herba akuatik seperti eceng gondok. Ambul dapat juga diistilahkan sebagai tumbuhan air terdekomposisi yang mengambang dan digunakan sebagai sedimen untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai tanaman (Ardianor, 1992). Salah satu cara yang dilakukan oleh Ardianor (2004) adalah mengembangkan ambul menggunakan konstruksi bambu dan polietilen untuk menanam berbagai tanaman sayuran seperti semangka, labu kuning, mentimun di Danau Sabuah Kalimantan Tengah. Tanaman sayuran tersebut dapat berbunga dan berbuah dengan baik, akan tetapi penelitian belum mempelajari lebih mendalam mengenai ekologi dan morfo-fisiologi dari tanaman sayuran tersebut. Media tanam yang digunakan adalah eceng gondok.
Selain eceng gondok seperti kayambang dan purun tikus juga banyak ditemukan di Kalimantan Tengah. Tumbuhan air tersebut mampu menurunkan kualitas air minum dengan eksudat atau produk dekomposisinya, menghalangi aliran air di sungai dan kanal, mengganggu produksi padi dan lainnya, membunuh ikan oleh penipisan oksigen di dalam air, dan mendukung berbagai hewan berbahaya, termasuk vektor beberapa penyakit (Gopal, 1987 dalam Ardianor et al, 2007). Eceng gondok, kayambang dan purun tikus merupakan bahan organik yang banyak mengandung unsur hara yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Menurut Jumadi (1986) berbagai jenis tumbuhan air dapat berfungsi sebagai pengganti pupuk, dapat juga memberikan pertumbuhan dan hasil sangat baik serta ramah lingkungan. Tiga jenis tumbuhan air ini, juga dilaporkan sebagai fitromediator logam berat kadmium pada perairan yang tercemar salah satunya pada lahan rawa lebak dan sulfat masam (Suryati dan Priyatno, 2003).
Lahan rawa di Kalimantan Tengah banyak tergolong dalam rawa lebak. Distribusi lahan rawa ini sangatlah besar apabila disandingkan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari separti tampat pembudidayaan kramba ikan, sebagai tempat mencari ikan, mencari makan ternak dan tempat budidaya sayuran, buah dan tanaman tahunan. Rawa lebak adalah wilayah dataran yang mempunyai genangan ± 4 – 7 m dengan lama genangan 6 bulan, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering kecuali dasar atau wilayah paling bawah (Noor, 2007). Lahan rawa lebak menurut terminologi landform adalah backswamp (rawa belakang) yang menjadi land facet cekungan. Lahan rawa lebak biasanya berada di kiri kanan sungai besar dan memiliki topografi datar. Posisinya berada di belakang tanggul sungai (levee). Dari aspek lingkungan, rawa lebak berfungsi sebagai pengendali luapan air sungai saat  kejadian banjir dan pasca banjir pada musim penghujan  (Djaenuddin, 2009).

1.2.            Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, masalah yang diidentifikasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.        Bagaimanakah respon pertumbuhan dan hasil dua varietas cabai besar yang di budidayakan dengan sistem ambul?
2.        Bagaimanakah pengaruh berbagai media tanam terhadap pertumbuhan dan hasil 2 varietas tanaman cabai besar yang dibudidayakan dengan sistem ambul?
3.        Apakah ada interaksi antara media tanam dan varietas cabai besar yang digunakan pada budidaya sistem ambul?

1.3.            Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1.        Mempelajari pertumbuhan dan hasil dua varietas tanaman cabe besar yang dibudidayakan dengan sistem ambul.
2.        Mempelajari pengaruh berbagai media tanam terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas cabai besar.
3.        Mempelajari interaksi yang terjadi antara media tanam dengan varietas cabai  besar yang dibudidayakan dengan sistem ambul.
1.4.            Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah :
1.        Pertumbuhan dan hasil dua varietas cabai dipengaruhi oleh sistem ambul.
2.        Pertumbuhan dan hasil tanaman cabai besar yang dibudidayakan dengan sistem ambul dipengaruhi oleh jenis media tanam yang digunakan.
3.        Terjadi interaksi antara media tanam dan varietas cabai besar  pada budidaya sistrem ambul.



II.  TINJAUAN PUSTAKA
2.1.            Kalasifikasi dan Morfologi tanaman Cabai Besar:
Menurut Rukmana (1994), tingkat klasifikasi dari tanaman cabai besar yaitu :
Kingdom             :  Plantae
Divisio                 :  Spermatophyta
Sub Divisio          :  Angiospermae
Kelas                   :  Dicotyledonae
Sub Kelas            :  Metachalimidae
Ordo                    :  Tubiflorae
Famili                  :  Solanaceae
Genus                  :  Capsicum
Spesies                 :  Capsicum annum L.

2.2.       Morfologi
            Perakaran tanaman cabai merupakan akar tunggang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar tersier). Panjang akar lateral menyebar sekitar 35-45 cm (Prajnanta,2001).

            Tanaman cabai besar merupakan tanaman berumur pendek yang berbentuk perdu, berbatang tegak dengan ketinggian mencapai 50-90 cm, agak berkayu dan bercabang banyak. Panjang daun sekitar 4-10 cm, antara 1,5-4 cm, bentuk ujung dan pangkal daun runcing dengan tepi daun rata dan menyirip, tangakai daun horizontal atau miring dengan panjang sekitar 1,5-4,5 cm (Pracaya, 1994).
            Seperti umumnya suku solanaceae, bunga cabai berbentuk seperti terompet
(hypocrateriformis). Bunga cabai merupakan bunga lengkap karena terdiri dari klopak bunga (calyx), mahkota bunga (corrola), benang sari (stamen), dan putik (pistillum). Alat kelamin jantan betina terletak dalam satu bunga sehingga disebut kelamin dua (hemaprodit). Bunga cabai biasanya menggantung terdiri dari 6 helai kelopak bunga berwarna kehijauan dan 5 helai mahkota bunga berwarna putih bunga keluar dari ketiak daun. Buah cabai merupakan buah sejati tunggal, terdiri dari satu bunga dengan satu bakal buah. Buah tersusun atas kulit buah berwarna hijau sampai merah, daging buah dan biji. Permukaan buah rata, licin dan yang telah masak berwarna merah mengkilat. Panjang buah berkisar antara 9-15 cm, diameter 1-1,75, dan berat bervariasi dari 7,5-15 g kg-1. Panjang tangkai buah 3,5-4,5 cm, berwarna hijau tua. Buah menggantung, terletak dipercabangan atau disekitar ketiak daun. Jumlah buah perpohon berkisar antara 150-200 buah (Nawangsih, Imdad dan Wahyudi, 2003). Biji cabai besar berdiameter 3-5 mm berwarna kuning, pucat, pipih, dan merekat secara kompak, plasenta mulai dari pangkal buah dan berakhir pada ujung buah (Setiadi, 1986).
            Menurut Setiadi (1986) buah cabe besar mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi seperti Vitamin A dan C disamping itu juga mengandung protein, lemak, karbohidarat, kalsium, fosfor, zat besi, Vitamin B dan air. Kandungan gizi  pada cabe berbeda-beda tergantung kesegaranya. Kandungan cabai besar terlihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Buah Cabai Segar (Cabe Merah Besar) Setiap
              100 Gram Bahan      
Kandungan
Banyaknya
Kalori (kal)
Protein (g)
Lemak
Karbohidarat
Kalsium
Fosfor
Besi
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin C
Air
b. d. d.  *) (%)
31
1
0,3
7,3
29
24
0,5
470
0,05
18
90,9
85
Keterangan       : b. d. d. = bagian yang dapat dimakan (kulit, daging dan isinya).
Sumber              : Departemen Kesehatan, 1989

2.3.            Syarat Tumbuh
            Kisaran pH tanah yang ideal adalah 6-6,5 karena pada pH dibawah 5,5 atau diatas 6,8 hanya akan menghasilkan produksi yang rendah (sedikit). Tanaman cabai besar umumnya dapat tumbuh diberbagai jenis tanah dan semua iklim baik pada musim hujan atau musim kemarau. Namun demikin ada beberapa faktor yang harus diperhatikan agar tanaman cabai dapat memberikan hasil yang baik. Tanaman cabai dapat tumbuh pada dataran rendah yang mengandung pasir, yaitu porositas yang cukup baik. Pada tanah yang airnya menggenang dengan porositas rendah tidak cocok untuk tanam cabai karena akan mudah terserang penyakit akar, penyakit layu, dan umumnya daun dan buahnya berguguran (Sunaryono, 1992).
            Tanaman cabai lebih senang tumbuh didaerah beriklim lembab hingga agak lembab. Curah hujan optimum adalah 100 – 200 mm/bulan. Curah hujan yang tinggi dapat merontokan bunga dan buah akibat curahnya yang deras, namun kekurangan air saat berbunga dapat menyebabkan bunga akan gugur, karena tidak mampu untuk menyerbuk dan menjadi buah (Sunaryono, 1992).
            Bernardinus dan Wiryanto (2002) berpendapat cabai dapat ditanam pada dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter dpl. Sistem perakarannya agak menyebar, bentuk daun ujung dan pangkalnya meruncing dengan letak yang berselang-seling. Batang utamanya tegak dan berkayu pada pangkalnya, dengan tinggi tanaman 30 - 75 cm. Bunga pertama muncul dari puncak sumbu utama dan untuk selanjutnya akan muncul ketiak daun. Warna mahkota bunga putih sampai ungu. Buah dapat berwarna hijau atau ungu (muda) dan merah, jingga atau kuning (tua). Bentuk buah bervariasi mulai dari linier, kerucut, bulat atau gabungan dengan posisi buah tegak, dan landai. Tanaman cabe dapat ditanam pada tanah sawah maupun tegalan yang gembur, subur, tidak terlalu liat dan cukup air. Permukaan tanah yang paling ideal adalah datar dengan sudut kemiringan lahan 0 sampai 10 derajat serta membutuhkan sinar matahari penuh dan tidak ternaungi. pH tanah yang optimal antara 5,5 sampai 7. Penyebab rasa pedas pada cabai adalah capsaicin yang bervariasi menurut varietas dan dipengaruhi iklim. Cuaca panas merangsang cabai menjadi lebih pedas. Tanaman cabai menghendaki pengairan yang cukup.
             Pada dasarnya tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian antara 0-1800 dari permukaan laut. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan tanaman cabe besar antara 21–25 0C, sedangkan untuk fase pembangunan dibutuhkan suhu udara antara 18,3–26,7 0C. Suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan jumlah buah dan suhu rata-rata diatas 32 0C dapat mengakibatkan tepung sari tidak berfungsi. Kandungan kelembaban tanah juga berkaitan dengan suhu tanah yang diperlukan akar tanaman, pada tanaman cabai suhu tanah sebaiknya berkisar 15 0C–28 0C atau paling tinggi 30 0C (Setiadi, 1986).
            Tanaman cabai mudah terserang hama dan penyakit apabila kelembapan air udara terlalu tinggi. Hama yang bisa menyerang tanaman cabai yaitu kutu daun, tungau, trips, lalat buah, dan ulat daun. Sedangkan penyakit yang bisa menyerang busuk buah (Collectrotricchum capsisi), bakteri layu (Pseudomonas solanacearum),  bercak daun (Cercospora), gugur daun (Oidium sp), dan virus penyebab kerdil dan kriting daun. Pada tanaman cabe umumnya serangan penyakit lebih dominan jika dibandingkan dengan serangan hama (Setiadi, 1999).

2.4.            Ambul
Ambul adalah istilah yang dipakai oleh penduduk sekitar danau-rawa Danau bangkau, Kalimantan Selatan untuk menamakan media tumbuh dari tumbuhan air mengapung, umumnya eceng gondok untuk menanam sayuran/palawija (Ardianor, 1992; Gumiri dan Ardianor, 2007). Ambul dibuat menyerupai keramba ikan, dimana kontruksinya terbuat dari bambu dan politilen dibuat bahan yang digunakan sebagai media yaitu tumbuhan air. Dimana media dari tumbuhan air dilakukan dengan cara menumpuk dan menata eceng gondok sedemikian rupa di atas kumpulan besar eceng gondok yang lainnya yang biasanya terapung di permukaan danau atau rawa. Setelah ditumpuk eceng gondok dibiarkan mati dan mengering dan terdekomposisi secara alami, dan dalam waktu lebih kurang 15 hari sudah dapat ditanami tanaman sayuran/palawija. Setelah dipanen, ambul biasanya kembali dibersihkan dan sisa tanaman palawija dibiarkan mati dan membusuk, sebagian penduduk ada yang membakarnya  agar terbentuk abu yang mungkin berfungsi mensuplai kalsium dan unsur hara lainnya. Penambahan kembali eceng gondok yang berkembang pesat di perairan ke bagian atas ambul bisa terus dilakukan sampai ambul mencapai ketebalan 50–100 cm, sehingga penanaman kembali untuk musim berikutnya biasa dilakukan. Secara fisik ambul terlihat seperti sebuah pulau kecil yang di atasnya tumbuh tanaman sayuran/palawija seperti kacang panjang, semangka, labu, timun dan lain-lainnya (Ardianor et al, 2007).
Di luar negeri, ambul diistilahkan dengan floating garden (pertanian mengambang) yaitu suatu konsep yang menyerupai hidroponik akan tetapi menggunakan makhluk hidup untuk mengurangi pencemar yang ada di perairan. Teknik penanaman dengan cara ini dilatar belakangi oleh keterbatasan lahan dan kondisi lahan yang sudah tidak sesuai dan memungkinkan lagi untuk bercocok tanam. Di Bangladesh (Practical Action Foundantion, 2007), masyarakat District Gaibandha menggunakan media dari tanaman air untuk menanam sayuran/palawija. Hal sama juga dilakukan masyarakat di lembah Mexico, yang lebih dikenal dengan metode Chinampa.  Sementara itu di Chicago, USA, floating garden di buat layaknya pulau kecil yang kaya warna dan pengunjung dapat menikmati keindahan pulau kecil tersebut. Teknik ini sangat murah dan bersifat berkesinambungan juga sangat ramah lingkungan, karena selain mengurangi kadar polutan di air juga dapat menciptakan udara yang lebih segar bagi daerah di sekitarnya. Budidaya sayuran mengambang juga dilakukan oleh Burnett (2011) di
danau Powell. Tanaman yang di budidayakan meliputi dari selada, bayam, wortel,
 bawang, kentang, lobak, strawbery dan asparagus.

2.5.            Tumbuhan Air
2.5.1.      Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)
Tanaman air yang digunakan sebagai media ambul adalah eceng gondok, kayambang dan purun tikus yang keberadaannya sangat banyak di Kalimantan Tengah. Kemampuan eceng gondok tumbuh dan berkembang mengakibatkan tumbuhan ini dapat menghasil biomassa yang besar. Berdasarkan hasil penelitian Sittadewi (2007). Media tanam eceng gondok yang telah dikomposkan menghasilkan produksi sawi hibrida yang lebih tinggi dari pada media tanam tanah gambut, karena dari hasil analisis unsur hara media tanam eceng gondok yang memiliki kandungan hara tersedia membadingkantidak dengan cukup tanah gambut. Dalam pemanfaatan eceng gondok perlu juga memperhatikan bahwa tumbuhan merupakan akumulator senyawa logam. Berdasarkan hasil penelitian Juhaeti dan Syarif (2003) tumbuhan eceng gondok, genjer dan Azolla mampu menyerap senyawa logam berat Fe, Zn, Pb dan Cd. Akan tetapi kemampuan serapan eceng gondok terhadap logam berat lebih rendah dibanding tumbuhan genjer dan Azolla. Senyawa logam yang diserap oleh ketiga tumbuhan tersebut banyak diakumulasikan pada bagian akar tanaman.

2.5.2.      Kayambang (Salvinia molesta)
Kayambang mempunyai batang yang tumbuh menjalar, pada setiap bukunya terdapat sepasang daun yang mengapung (floating leaves) dan satu daun berada di bawah permukaan air menggantung dalam air dan membentuk serabut seperti akar. Batang kayambang merupakan satuan rhizomme horizontal dan mengapung tepat di bawah permukaan air (Masjid, 1997).
Daun kayambang mengandung banyak jaringan parenkim. Daunnya berselang, bagian pangkal daun berlekuk seperti jantung, daun yang mengapung (tidak mudah terbasahi air, berbentuk elips dan lebarnya tidak melebihi 3 cm. Permukaan atas daun di tutupi papillae, yanng terdiri atas empat buah yang bersatu pada ujung. Permukaan bawah dari daun ini gundul, kecuali pada tulang daun terdapat rambut – rambut yang sederhana bentuknya (Wati, 2007).
Pertumbuhan kayambang terdiri atas tiga stadium. Pada stadium pertama daunnya kecil-kecil kurang lebih 1,5 cm, mengapung sejajar dengan permukaan air. Biasanya diperlukan ruang tumbuh yang tidak terbatas. Ruas-ruas batang cukup panjang, batang mudah patah dan cepat berkembang biak karena masing-masing potongan mampu tumbuh membentuk individu baru (Masjid, 1997). Pada stadium kedua daun-daun berukuran lebar > 2 cm. Bentuk daun seperti perahu terbalik dengan bagian atas bulat. Bagian bawah dan terutama tulang daun bersentuhan dengan air. Ruas-ruas batang agak panjang, daun belum saling menutupi. Stadium ketiga tercapai bila tumbuh terdesak-desakan. Daun-daun lebarnya dapat mencapai 6 cm. Batang daun lonjong sehingga semakin melebar dengan pinggir daun melekuk seperti telinga dan agak kasar. Sebagian besar daun tidak menyentuh air, daun melipat dan tertumpuk satu sama lain. Tumbuh lebih kuat dengan ruas-ruas relatif pendek. Pada stadium ini biasanya sudah membentuk spokrap (Nguyen, 1974 dalam Wati, 2007).
Jaringan pertumbuhan kurang berkembang dan mempunyai ruang-ruang udara yang sambung-menyambung. Kedua sifat ini mempunyai ciri khas dari tumbuhan air. Stomata tidak sempurna dan hanya terdapat pada permukaan daun sebelah atas (Masjid, 1997).
Kayambang tidak mampu memperbanyak diri secara seksual. Kayambang membentuk sporakrap, tetapi perkembang biakan melalui spora tidak memungkinkan karena pertumbuhan  spora-spora makro tidak sempurna (Nguyen, 1974 dalam Wati, 2007). Perkembangbiakan secara vegetatif keyambang berlangsung melalui fragmentasi tumbuh tanaman. Regenerasi dari potongan kecil yang selanjutnya membentuk tunas baru (Nguyen, 1974 dalam Wati, 2007).
Pada stadium pertama dan kedua batang mudah patah dan setiap ketiak daun dan ujungnya dapat mengeluarkan tunas pertama bila jaringan tersebut masih muda (Masjid, 1997). Penyebaran kayambang secara alami oleh air. Dalam lingkungan perairan dapat terbawa oleh kapal, tersangkut jaring penangkap ikan atau hewan yang meminum air. Penyebaran kayambang yang utama adalah manusia, tumbuhan ini mudah tumbuh walaupun hanya bagian kecil tumbuhnya dan populasinya cepat, karena tidak tergantung pada perbanyakan seksual. Pertumbuhan sebagian besar adalah daun, yang menyebabkan air cepat tertutup (Masjid, 1997).
Berdasarkan penelitian Jumadi (1986), bahan organik kayambang segar sebanyak 25 dan 50 ton ha-1 dapat secara nyata menekan populasi Echinochloa colonum dan berat kering Paspalum distichum. Tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil gabah kering gilingan tanaman padi. Pembenaman kayambang segar sebanyak 25 ton ha-1 berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi sawah. Dari hasil penelitian Kaderi (2005), pemberian konsentrat Salvinia molesta 60% efektif meningkatkan tinggi tanaman padi, jumlah anakan, jumlah malai tiap rumpun, panjang malai, bobot gabah tiap rumpun, dan jumlah gabah isi.

2.5.3.      Purun Tikus (Eleocharis dulcis)
Jenis tumbuhan lain yang banyak ditemukan di Kalimantan Tengah adalah purun tikus. Secara ekologi, tumbuhan  purun tikus berperan sebagai tumbuhan biofilter yang dapat  menetralisir unsur beracun dan kemasaman di lahan sulfat masam dengan menyerap Fe sebesar 80,0 - 1.559,5 ppm dan SO4 sebesar 7,88 - 12,63 ppm (Jumberi et al., 2004). Purun tikus dapat menurunkan kandungan Fe dalam tanah pada petak yang ditanami padi dengan sumber pengairan berasal dari air limbah tambang batu  bara, yaitu dengan serapan Fe rata-rata sebesar 1,1766 mg/l. Padi yang ditanam dengan purun tikus ternyata memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan padi yang ditanam tanpa purun tikus.  Purun tikus dapat menjadi sumber bahan organik bagi tanah dan sumber hara bagi tanaman. Bahan organik purun tikus dapat menyuplai unsur-unsur hara makro dan mikro yang diperlukan tanaman karena unsur hara yang terkandung dalam purun tikus adalah N 3.36%, P 0.43%, K 2.02%, Ca 0.26%, Mg 0.42%, S 0.76%, Al 0.57%, dan Fe 142.20 ppm (Aribawa, 2001; Noor et al., 2006 dalam Setyorini, et al, (2009). Demikian halnya dengan tumbuhan kayambang yang juga dilaporkan sebagai fitoremediator logam berat kadmium pada perairan yang tercemar (Suryati dan Priyatno, 2003).
Purun tikus (Eleocharis dulcis) dalam ilmu taksonomi tumbuhan digolongkan dalam Cyperaceae merupakan tumbuhan khas tumbuh di tanah rawa. Tidak seperti eceng gondok yang tumbuh mengapung, purun tikus menambatkan akarnya pada tanah. Tumbuhan rawa ini banyak ditemui pada tanah sulfat masam dengan tipe tanah lempung atau humus. Biasanya dapat dijumpai di daerah terbuka atau tanah bekas kebakaran. Batang tegak, tidak bercabang, warna abu-abu hingga hijau mengkilat dengan panjang 50-200 cm dan ketebalan 2-8 mm.  Daun mengecil sampai ke bagian basal, pelepah tipis seperti membran, ujungnya asimetris, berwarna cokelat kemerahan. Tumbuhan purun tikus ini dapat dikatakan bersifat spesifik lahan sulfat masam, karena sifatnya yang tahan terhadap kemasaman tinggi (pH 2,5-3,5). Oleh sebab hal tersebut, tumbuhan ini dapat dijadikan vegetasi indikator untuk tanah sulfat masam Aribawa, 2001; Noor et al., 2006 dalam Asikin, et al (2009).

2.6.            Lahan Rawa
Luas wilayah Kalimantan Tengah sebesar 153.564 dari luasan tersebut 11 sungai besar dan tidak kurang dari 33 sungai kecil lahan rawa gambut menempati 32 % dari total lahan rawa yang ada di Indonesia. Lahan ini  sepanjang tahun atau dalam waktu yang panjang setahun selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang. Keputusan menteri PU No. 64/PRT/1993 menyatakan lahan rawa dibedakan menjadi dua yaitu rawa pasang surut/ rawa pantai dan rawa non pasang surut/ rawa pedalaman (rawa lebak) (Tim Sintesis Kebijakan, 2008). Rawa pedalaman (rawa lebak) belum banyak dipergunakan untuk pertanian. Pada umumnya air rawa tersebut berwarna coklat tua sampai kehitaman, berkadar organik tinggi dan bersifat asam. Tumbuhan yang tumbuh disana adalah tumbuhan sejenis gulma air yang dapat menggangu pencemaran lingkungan perairan aliran sungai atau rawa.
Rawa lebak yaitu rawa berasal dari kata air yang selalu menggenangi lahan setiap musim penghujan atau akibat luapan air sungai yang tidak dapat surut. Sedangkan kata lebak diambil dari kosakata Jawa yang diartikan sebagai ‘lembah atau tanah rendah. Sedangkan kata lebak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam. Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak secara khusus diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee) atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya. Sedangkan rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan pertanian, termasuk perikanan dan peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan rawa lebak. Rawa lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa monoton. Karena kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara sungai besar sering disebut juga dengan rawa pedalaman (Noor, 2007).
Rawa lebak juga dikatakan danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai pada umumnya dan selalu mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar. Selain karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga banjir kiriman. Genangan di lahan rawa lebak kadang-kadang bersifat ladung (stagnant) dan kalaupun mengalir, sangat lambat. Rawa lebak pada musim hujan tergenang karena berbentuk cekungan dengan drainase jelek. Namun, pada musim kemarau menjadi kering. Pada musim hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4 - 7 meter, tetapi pada musim kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah.
Menurut Noor (2007), klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam arti luas dapat didasarkan pada ketinggian tempat, ketinggian genangan, lama genangan, waktu genangan, jenis ekologi, vegetasi, bentuk wilayah, dan jenis pemanfaatan. Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi dua tipologi, yaitu (1) rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak dataran rendah. Rawa lebak dataran tinggi/pegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, sedangkan dataran rendah (lowland) sebagian besar tersebar di Kalimantan.   
Berdasarkan ada dan tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1) lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah terkurung (Kosman dan Jumberi, 1996) dalam Noor (2007). Batasan dan klasifikasi lebak menurut ada tidaknya pengaruh sungai sebagai berikut.
1)      Lebak sungai : lebak yang sangat nyata mendapat pengaruh dari sungai sehingga tinggi rendahnya genangan sangat ditentukan oleh muka air sungai.
2)      Lebak terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya curah hujan dan air rembesan (seepage) dari sekitarnya.
3)      Lebak setengah terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan di tentukan
      oleh besar kecilnya curah hujan, rembesan, dan juga sungai sekitarnya.
Lahan rawa lebak menurut terminologi landform adalah backswamp (rawa belakang) yang menjadi land facet cekungan. Lahan rawa lebak biasanya berada di kiri kanan sungai besar dan memiliki topografi datar. Posisinya berada di belakang tanggul sungai (levee). Tanah di lahan ini tidak mengandung bahan sulfidik karena berasal dari bahan endapan sungai dan tanah yang terbentuk adalah tanah alluvial. Sifat morfologi tanah rawa lebak adalah memiliki kondisi alumnik (berdrainase terhambat atau sangat terhambat). Sifat kimia tanah menunjukkan kandungan C-organik tinggi, kapasitas tukar kation (KTK) bervariasi sekitar 10-40 me/100 g tanah, ketersediaan kation - kation basa antara sangat rendah – rendah dan pH tanah 3,0–5,5 (sangat masam–masam)  (Djamhari, 2010). Dari aspek lingkungan, rawa lebak berfungsi sebagai pengendali luapan air saat kejadian banjir dan pasca banjir (Djaenuddin, 2009).



                                                   III.    BAHAN DAN METODE
3.1.            Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2013 hingga bulan April 2014. Bertempat Di Jalan Arut Bawah Kecamatan Jekan Raya Kelurahan Palangka Raya.

3.2.            Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan antara lain benih cabai merah varietas lokal Wibawa, varietas unggul Arimbi, eceng gondok, kayambang, purun tikus, kapur dolomit, furadan, fungisida, insektisida, abu bekas bakaran, pupuk kandang kotoran ayam, pupuk NPK, Urea, KCL, pupuk grandtonik, grand-K dan polibag kecil ukuran 5 cm x 7 cm.
Alat yang digunakan antara lain parang, cangkul, gergaji, palu, paku, kayu papan, kayu bulat, bambu, tali tambang, ajir,  meteran, timbangan, kamera, alat tulis dan alat lain yang menunjang dalam penelitian.

3.3.            Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi (RPT) dengan dasar Rancangan Acak Kelompok (RAK) sebagai rancangan lingkungan.
Sebagai petak utama adalah 3 media tanam tanaman rawa yaitu :
T1        =  Eceng gondok
T2        =   Kayambang
T3        =   Purun tikus

 
Sedangkan anak petak adalah 2 varietas tanaman cabai merah besar yaitu :
V 1    =  Unggul (Arimbi)
V 2    =  Lokal (Wibawa)
            Setelah kedua perlakuan dikombinasikan diperoleh 6 kombinasi perlakuan yang disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Kombinasi Perlakuan Media Tanam Dan Varietas Cabai Besar Yang  
              Berbeda.
Jenis Media Tanam
Jenis Varietas Cabai
V1
V2
T1
T1V1
T1V2
T2
T2V1
T2V2
T3
T3V1
T3V2
             
            Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga diperoleh 24 buah satuan percobaan.
            Model linier aditif  yang digunakan dalam penelitian ini menurut Steel dan Torrie (1991) adalah sebagai berikut :
              Model linier aditif untuk merancang percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
              Yijk =
Yijk = pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi
              perlakuan taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B
       = nilai rata-rata yang sesungguhnya (rata-rata populasi)
     = pengaruh aditif dari kelompok ke-k
     = pengaruh aditif ke-i dari faktor media tanam eceng gondok, kayambang
             dan purun tikus
     = pengaruh aditif ke-j dari faktor varietas arimbi dan varietas wibawa.
   = pengaruh acak dari petak utama, yang muncul pada taraf ke-i dari faktor A
            dalam kelompok ke-k. Sering disebut galat petak utama.  ˜ N (0,oy2).
= pengaruh aditif  ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B
  = pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi
            perlakuan ij. Sering disebut galat anak petak.  ˜ N (0,o 2).        

3.4.            Pelaksanaan Penelitian
3.4.1.      Pembuatan Ambul
9  m
Cara membuat ambul yang terdiri dari bahan bambu, kayu bulat, kayu papan, tali tambang.
Text Box: 3,50 m

Gambar 1. Konstruksi ambul
Cara pembuatan yaitu :
1.        Bambu yang sudah kita potong sesuai dengan panjang yang kita butuhkan ± 3,50 m - 9 m, diikat erat menjadi 1 sehingga menjadi sebuah rakit dan menyerupai keramba ikan. Dibagian tengahnya diberi ruang yang  berfungsi sebagai tempat menumpuknya media tanam yaitu tumbuhan air seperti eceng gondok, kayambang dan purun tikus. Dengan teknis pengisian ambul dilapangan yaitu menggunakan sistem ubinan untuk setiap anak petak perlakuan.
2.        Media yang akan digunakan seperti eceng gondok, kayambang dan purun tikus dimasukan dengan cara dibalik yaitu akar berada dibagian atas air. Sedangkan untuk purun tidak dibalik melainkan disusun horizontal. Kemudian dicacah hingga menjadi ukuran ± 15 cm. Setelah ketebalan  mencapai ± 30 cm, dilakukan penyisipan menggunakan kayu bulat  untuk memperkuat media ambul agar mengurangi daya penipisan media yang cepat.
3.        Penumpukan kembali dengan tumbuhan air dan dicacah kembali hingga ketebalan mencapai ketebalan  ± 70 cm.
4.        Menginkubasi media selama ± 2  minggu.
5.        Setelah 1 minggu media dapat digemburkan dengan dicangkul agar menjadi gembur dan ditaburkan kapur dolomit untuk menetralkan pH dibiarkan hingga  ± 5 hari . Setelah itu siap untuk ditanami.

3.4.2.      Persiapan Lokasi Penyemaian
            Lokasi penyemaian atau pembibitan dibersihkan dari rerumputan dan tumbuhan yang tidak di inginkan, kemudian disisihkan atau dikumpulkan pada tempat luar area pembibitan. Selanjutnya menyiapkan tempat bedengan untuk penyemaian yang tingginya 30-70 cm dengan lebar 80-100 cm dan panjang 100-150 cm. Bibit disemai pada plastik polibag kecil berukuran 5 cmx 7 cm, yang sudah diberi pelakuan dengan tanah yang dicampur pupuk kandang kotoran ayam atau abu bakaran.
3.4.3.      Penyiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan adalah eceng gondok, kayambang dan purun tikus yang sudah di inkubasikan selama ± 2 minggu. Media tanam kemudian dibagi sesuai dengan petak perlakuan.
Dasar air
Kayu bulat/bambu
Media tanama eceng gondok/kayambang/ purun tikus
Media tanama eceng  gondok/kayambang/ purun tikus

Tanaman budidaya

Gambar 2. Bahan  lapisan pada konstruksi ambul yang digunakan dari yang
 dilakukan di Bangadesh (Practical Action Foundation, 2007)


3.4.4.      Penyemaian Benih dan Penanaman
Sebelum penanaman benih terlebih dahulu direndam pada air hangat selama 12 jam atau 24 jam, untuk mempercepat proses pertumbuhan biji menjadi kecambah. Jumlah benih yang disemaikan lebih banyak dari jumlah tanaman yang dibutuhkan, yang bertujuan sebagai cadangan penyulaman.
Setelah dilakukan penyemaian kemudian memilih bibit yang seragam, sehat, kuat dan tumbuh mulus, bibit memiliki 4-6 helai daun atau tanaman sudah berumur 20 - 25 hari setelah semai dengan tinggi rata-rata ± 5-10 cm. Penanaman dilakukan pada sore hari saat cuaca tidak terlalu panas. Dengan jarak tanam antar tanaman 40 cm dan 50 cm dalam baris tanaman. Jarak antar tanaman dengan pinggir dan jalan pengamatan 40 cm.

3.4.5.      Pemupukan
Pemberian pupuk kandang ayam dan dolomit dilakukan setelah 2 minggu inkubasi media tanam eceng gondok, kayambang, purun tikus. Pupuk kandang kotoran ayam ini sebagai pupuk dasar yang dilakukan langsung secara disebar pada media ambul yang sudah digemburkan. Selanjutnya pemberian pupuk NPK, dilakukan saat tanaman berumur 2, 4, 6, 8  MST. Grandtonik adalah pupuk daun  dilakukan dengan cara disemprotkan ke bagian daun tanaman sebanyak  lima kali sesuai perlakuan dengan interval 7 hari sekali, yaitu pada umur 14 hst, 21 hst, 28 hst, 35 hst dan 42. Aplikasi pupuk daun ini dilakukan dengan melarutkan pupuk sesuai konsentrasi perlakuan dalam dua liter air.

3.4.6.      Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman merupakan salah satu rangkaian kegiatan budidaya tanaman cabai, yang menjadi penentu keberhasilan budidaya. Secara keseluruhan kegiatan pemeliharaan ini dilakukan sejak benih ditanam hingga panen yang  meliputi :
a.         Penyulaman
Penyulaman dilakukan saat tanaman  berumur 7 - 14 hst tanaman yang  tidak dapat tumbuh dengan  normal atau mati perlu dilakukan penyulaman kembali dengan bibit yang masih ada disemaian.
b.        Pemasangan ajir
Pemasangan ajir dipasang di samping lubang tanam. Pemasangan anjir dilakukan pada saat tanaman sebelum ditanam, supaya tidak mengganggu pertumbuhan dan ajir tersebut berfungsi sebagai penompang tanaman agar tidak roboh pada saat hujan atau tertiup angina kencang.
c.         Perompesan atau pemangkasan
Pemangkasan dilakukan sebanyak 3 kali, pertama  pada umur 15, 30 dan 45 HST. Bagian yang dipangkas  pucuk tanaman cabai dari cabang primer, dan sekunder dengan faktor pemangkasan 10%, 20% dan 30%. Pemangkasan 10% pada pemangkasan pertama pada 15 HST hanya dipangkas pada bagian daun yang paling bawah  dan pemangkasan 20% dipangkas pada bagian kedua dari daun yang terbawah sedangkan pemangkasan 30% pada 15 HST dilakukan pemangkasan dengan meninggalkan dua daun tanaman cabai. Pemangkasan 10% pada pemangkasan kedua pada hari 30 HST  teknik pemangkasan yang dilakukan tidak berbeda dengan pemangkasan pada 15 HST, hanya saja pada pemangkasan  10 % ini dipangkas tangkai pertama dari bawah pangkal tanaman cabai dan pemangkasan 20 % dipangkas dua tangkai di bawah pangkal batang cabai sedangkan pemangkasan 30 % hanya menyisakan satu cabang tangkai sehingga berbentuk huruf ‘Y’. Pemangkasan ketiga pada umur 45 HST dilakukan dengan mebuang tunas air dan cabang-cabang non-produktif dengan teknik pemangkasan yang diterapkan pada hari pemangkasan 30 HST tetapi pada 45 HST daun yang berdekatan dengan buah cabai dibuang.
d.        Pembubunan
Pembubunan yaitu dilakukan jika tanah disekitar perakaran atau batang bawah tanaman cabai berkurang akibat air hujan ataupun karena penyiraman
e.         Penyiangan gulma
Penyiangan gulma dilakukan, jika ada rumput atau tumbuhan yang tidak di ingkan berada disekitar tanaman budidaya. Karena dapat menjadi pesaing khususnya dalam hal kebutuhan unsur hara dan sinar matahari. Maka penyiangan gulma dapat langsung dibersihkan dengan cara dicabut langsung.
f.         Pengendalian hama penyakit
Selama pelaksanaan penelitian, pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan pemberian insektisida dan pestisida yang dijual dipasar, sesuai dengan jenis hama dan penyakit yang menunjukan adanya gejala serangan pada tanaman. Yang dapat dilihat pada lampiran 4.

3.4.7.      Panen
Panen dilakukan terhadap buah yang masak atau tua dengan kriteria buah berwarna hijau kemerahan sampai dengan merah penuh dan buah tampak berisi padat. Bila kemasakan buah telah mencapai 70 % dalam satuan petakan maka dapat dilakukan panen. Panen dilakukan sebanyak 3 kali. Panen pertama dilakukan setelah berumur ± 80 hst, dilanjutkan panen kedua pada 90 hst, dan panen ketiga pada 100 hst.





3.5.       Variabel Pengamatan
Untuk mengetahui pengaruh media tanam eceng gondok, kayambang, purun tikus terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai ada dua variabel Pengamatan yang dilakukan yaitu :
1.        Variabel Utama
a.         Tinggi Tanaman (cm), diukur mulai pangkal batang utama sampai titik tumbuh  tertinggi. Pengukuran dilakukan pada saat tanaman berumur 2, 4, 6, 8, 10 MST.
b.         Bobot basah akar, akar yang dicabut dari ambul dibersihkan dari sisa bekas media tanam ambul dan dilakukan penimbangan menggunakan timbangan analitik.
c.         Bobot kering akar, akar yang telah dioven pada suhu 80 0C selama 48 jam yang setelah itu ditimbang menggunakan timbangan analitik.
d.        Jumlah cabang produktif, dihitung semua cabang yang menghasilkan buah pada umur 80 HST
e.         Jumlah buah per tanaman dihitung pada saat panen pertama sampai terakhir.
f.          Berat buah per perpetak tanaman perlakuan (g) diperoleh dengan menimbang berat buah segar pada saat panen pertama sampai terakhir.
g.         Nisbah Tajuk Akar (NTA), yaitu perbandingan antara bobot kering tajuk dengan bobot kering akar pada umur 100 hst, dihitung dengan rumus (Gardner et al, 1991)
Bobot kering tajuk
Bobot kering akar
NTA =
2.        Variabel Pendukung
a.       Analisis media tanam dilakukan pada awal setelah inkubasi 2 minggu, sedangkan analisis akhir dilakukan sesudah panen akhir pada umur 110 hst yaitu : N, P, K, C-Organik, Kapasitas Tukar Kation, pH, N/C ratio, Kejenuhan Basa dan Analisis Air Rawa di Sekeliling Ambul.

3.6.       Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, maka data hasil pengamatan dilakukan analisis ragam (uji F) pada taraf α = 5% dan α = 1%. Jika terdapat pengaruh perlakuan maka dilanjutkan dengan uji nilai tengah menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf α = 5% untuk mengetahui perbedaan antara taraf perlakuan.



DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S. 2009. Biomassa Purun Tikus (Eleocharis dulcis Trin.) pada Tiga Titik Sampling di Desa Puntik Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala. Bioscientiae Vol. l6 No 1 Edisi Januari 2009. http://unlam.ac.id/bioscientiae. [online] (Verified 29 Februari 2012) 
Ardianor. 1992. Distribusi dan Kepadatan Makrozoobenthos Serta Beberapa Parameter Fisik-Kimia di Perairan Danau Bangkau. Skripsi, tidak dipublikasi. Fakultas Perikanan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Kalimantan Selatan.
Ardianor, Buchar T, Handayani T, Wulandari L, Aunurafik, Liwat Y, Najamudin A, Gumiri S. 2007. Ambul : A traditional farming system on open water in Kalimantan. Proceeding of International Workshop on : Human Dimension of Tropical Peatland Under Global Environmental Changes. December 8-9. Bogor Indonesia.
Aribawa. 2001. Biomasa Purun Tikus Sebagai Penyuplai Unsur Hara Tanaman Dan Tanah. Laporan Penelitian Tumbuhan Air Purun Tikus. http:// goo.id [online] (Verified 22 Maret 2012)
Arisandi. 2006.  Hasil Analisis Tumbuhan Air. Gramedia Pustaka. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Tanaman Hortikultura Di Kalimantan Tengah 2011/2012. Badan Pusat Statistik, Kalimantan Tengah. Palangka Raya 
Bernardinus, T dan Wiryanto, W. 2002.  Bertanam Cabai pada Musim hujan. Penebar Swadaya. Jakarta. Halm 112.
Burnett .2011. Amazing vegetables Floating Garden. file:///G:/floating-vegetable-garden-grows-on-lake.htm. [online] (Verified 22 Maret 2012.
Djaenudin, U.D. 2009. Prospek Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan di Wilayah Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian Vol 2 No 4. http://lipi.go.id [online] (Verified 5 Maret 2012).
Gopal B. 1987. Water hyacinth-Aquatic Plant Studies. Elsevier Science Publishing Co. New York halm : 471.


Gumiri S dan Ardianor. 2004. Life on Wetland in the Bangkau Village, South Kalimantan. Proceeding of the International Workshop on : Human Dimension of Tropical Peatland Under Global Environmental Changes. Bogor 8-9 December. P 19-22.
Irfan dan Shardendu. 2009. Penambahan Bahan Organik Sebagai Unsur Hara Tanaman. Skripsi. Jurusan Pertanian, Universitas Gajah mada. http://Pengaruh Pemberian Unsur Hara.go.id [online] (Verified 5 Maret 2012).
Juhaeti, T dan Syarif, F. 2003. Studi Potensi Beberapa Jenis Tumbuhan Air untuk Fitoremediasi. Laporan Teknik 2003. http://lipi.go.id [online] (Verified 5 Maret 2012).
Jumadi, 1986. Pengaruh Kayambang Sebagai Bahan Organik Dan Sistem Penyiangan Terhadap Pertumbuhan Gulma, Pertumbuhan Hasil Tanaman Padi. Jurusan Budidaya pertanian. Fakultas Pertanian. Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Jumberi, S. 2004. Perairan sebagai Lahan Bantu dalam Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Lebak. Jurnal Hidrosfir Indonesia ISSN 1907-1043 Vol 5 No 3  Edisi Desember 2010. http://ejurnal.bppt.go.id/ [online] (Verified 5 Maret 2012).
Kaderi, M. 2005. Pengaruh Pemberian Kompos Kayambang Untuk Pertumbuhan dan Hasi Tanaman Padi. Makalah Penelitian Kompos Sebagai Bahan Pengganti Pupuk Anorganik. Bandung. http://kompos.bppt.go.id/ [online] (Verified 5 Maret 2012).

Komsan. 1996. Perairan sebagai Lahan Bantu dalam Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Lebak. Jurnal Hidrosfir Indonesia.
Masjid. 1997. Pemanfaatan Tumbuhan Perairan Sebagai Kompos. Hasil Penelitian Peningkatan Hara Tanah Secara Organik. Bogor. http://manfaattumbuhanair.go.id/ [online] (Verified 5 Maret 2012).
Nguyen, 1974. Report On The Aquatic Weed Problema Of The Brantas River Multipurpose Project. Biotrop. Bandung.
Noor, M. 2007. Pertanian Lahan Rawa Lebak. Kanisus. Yogyakarta.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
                        Penghujan. Agromedia. Jakarta.
Pracaya. 1994. Bertanam Lombok. Kanisius. Yogyakarta.
Practical Action Foundation. 2007. Floating Garden in Bangladesh: Practical Action. http://practicalaction.org/climatechange_floatinggardens. [online] (Verified 26 Februari 2012)
Rukmana, R. 1994. Budidaya Cabai Hibrida. Yogyakarta.
Ryan,  A.  2004.  Analisis Usaha Tani. Makalah Agribisnis Kalimantan Tengah. Palangka Raya. 
Setiadi. 1986. Betanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setiadi. 1999. Betanam Cabai Dimusim Penghujan. dalam Nani Sumarni (ed). Laporan Budidaya Cabai Merah Di Luar Musim Kemarau (off season). Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung.
Setyorini, A., Krisdianto, dan Asikin, S. 2009. Biomassa Purun Tikus (Eleocharis dulcis Trin). pada Tiga Titik Sampling di Desa Puntik Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala. Bioscientiae Vol 6 No 1 Edisi Januari 200 9. http://unlam.ac.id/bioscientiae. [online] (Verified 29 Februari 2012).
Sittadewi, E.H. 2007. Pengolahan Bahan Organik Eceng Gondok menjadi Media Tumbuh untuk Mendukung Pertanian Organik. Jurnal Teknik Lingkungan ISSN 1441-318X Vol 8 No 3 Edisi September 2007. http://ejurnal.bppt.go.id/ [online] (Verified 5 Maret 2012).
Steel dan Torrie. 1991. Pengacakan dan Tata Letak RPT. http:// Rancangan Percobaan model linier dan analisis ragam, contoh percobaan.co.id/rancob. [online] (Verified 12 januari 2012 ).
Sunaryono. H. 1992. Budidaya Cabe Merah. Sinar Baru. Bandung.
Suryati T dan Prayitno B. 2003. Eliminasi logam berat cadmium dalam air limbah menggunakan tanaman air. J.Tek.Ling.P3TL-BPPT 4 (3) : 143-147.
Wati, N, 2007. Pengaruh Pemberian Kayambang (Salvinia molesta) terhadap pertumbuhan dan hasil jagung semi pada tanah gambut pedalaman. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Universitas Palangka Raya. Palangka Raya.

Tidak ada komentar: