I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Cabai besar
(Capsicum annum L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang cukup
penting ditinjau dari segi ekonomi dan kandungan gizinya. Tanaman
ini merupakan sayuran semusim, yang
diperlukan oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai penyedap makanan, obat-obatan,
dan penghangat badan. Kandungan gizi yang cukup tinggi, terutama Vitamin A,
Vitamin C, serta mengandung minyak etiris penyebab rasa pedas yang disebut capsaisin
(CH18H27NO3) (Sunaryono, 1992). Cabai tidak hanya digunakan untuk
konsumsi rumah tangga seperti bumbu dapur tetapi juga digunakan dalam industri
pengolahan makanan seperti saos cabai, bumbu mie instan dan industri, karena
mengandung senyawa capsaikin,
capsikidin dan capsikol.
Pemanfaatan cabai sebagai produk olahan dan bahan baku industri menjadikan
cabai sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (Bernardinus dan Wiryanta,
2002).
|
Menurut
Setiadi (1999), secara umum tanaman cabai dapat ditanam diberbagai jenis tanah.
Tanah yang memenuhi syarat ialah tanah yang menyediakan unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanaman, yaitu tanah yang subur dan kaya bahan organik. Dilihat
dari keadaan lahan di
Kalimantan Tengah khususnya kota Palangka Raya, dimana kondisi lahan banyak
termasuk lahan rawa gambut, rawa lebak
dan rawa sulfat masam. Sulfat masam yang berada di daerah
pinggiran sungai pasang surut tersebut terletak
di pulang pisau, dan kapuas. Lahan tersebut sangat
susah sebagai lahan budidaya tanaman. Lahan selalu tergenang oleh air yang mencapai kedalaman
± 2-7 m.
Melihat
permasalahan diatas maka pada penelitian ini dicobakan penanaman tanaman cabai
yang dilakukan pada media tanam dengan sistem ambul. Ambul merupakan istilah
yang digunakan oleh pencari ikan di Danau Bangkau Kalimantan Selatan. Desa
Bangkau merupakan desa yang terendam air pada bulan-bulan tertentu. Rawa jenis ini didominasi oleh herba
akuatik seperti eceng gondok. Ambul dapat juga diistilahkan sebagai tumbuhan
air terdekomposisi yang mengambang dan digunakan sebagai sedimen untuk
pertumbuhan dan perkembangan berbagai tanaman (Ardianor, 1992). Salah satu cara
yang dilakukan oleh Ardianor (2004) adalah mengembangkan ambul menggunakan
konstruksi bambu dan polietilen untuk menanam berbagai tanaman sayuran seperti
semangka, labu kuning, mentimun di Danau Sabuah Kalimantan Tengah. Tanaman
sayuran tersebut dapat berbunga dan berbuah dengan baik, akan tetapi penelitian
belum mempelajari lebih mendalam mengenai ekologi dan morfo-fisiologi dari tanaman sayuran
tersebut. Media tanam yang digunakan adalah eceng gondok.
Selain
eceng gondok seperti kayambang dan purun tikus juga banyak ditemukan di
Kalimantan Tengah.
Tumbuhan air tersebut mampu menurunkan kualitas air minum dengan eksudat atau produk dekomposisinya,
menghalangi aliran air di
sungai dan kanal, mengganggu produksi padi dan lainnya, membunuh ikan oleh penipisan oksigen di
dalam air, dan mendukung berbagai hewan berbahaya, termasuk vektor beberapa
penyakit (Gopal, 1987 dalam Ardianor et al, 2007).
Eceng gondok, kayambang dan purun tikus merupakan bahan organik yang banyak
mengandung unsur hara yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman.
Menurut Jumadi (1986) berbagai jenis tumbuhan air dapat berfungsi sebagai
pengganti pupuk, dapat juga memberikan pertumbuhan dan hasil sangat baik serta
ramah lingkungan. Tiga jenis tumbuhan air ini, juga dilaporkan sebagai
fitromediator logam berat kadmium pada perairan yang tercemar salah satunya
pada lahan rawa lebak dan sulfat masam (Suryati dan Priyatno, 2003).
Lahan
rawa di Kalimantan Tengah banyak tergolong dalam rawa lebak. Distribusi lahan
rawa ini sangatlah besar apabila disandingkan dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari separti tampat pembudidayaan kramba ikan, sebagai tempat mencari ikan, mencari makan ternak dan tempat budidaya
sayuran, buah dan tanaman tahunan. Rawa lebak adalah wilayah dataran yang
mempunyai genangan ± 4 – 7 m dengan lama genangan 6 bulan, tetapi pada musim
kemarau lahan dalam keadaan kering kecuali dasar atau wilayah paling bawah
(Noor, 2007). Lahan
rawa lebak menurut terminologi landform
adalah backswamp (rawa belakang) yang
menjadi land facet cekungan. Lahan
rawa lebak biasanya berada di kiri kanan sungai besar dan memiliki topografi
datar. Posisinya berada di belakang tanggul sungai (levee). Dari aspek lingkungan, rawa lebak berfungsi sebagai
pengendali luapan air sungai saat kejadian banjir dan pasca banjir pada musim
penghujan (Djaenuddin, 2009).
1.2.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang, masalah yang diidentifikasi dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah respon pertumbuhan
dan hasil dua varietas cabai besar yang di budidayakan dengan sistem ambul?
2.
Bagaimanakah pengaruh
berbagai media tanam terhadap pertumbuhan dan hasil 2 varietas tanaman cabai
besar yang dibudidayakan dengan sistem ambul?
3.
Apakah ada interaksi
antara media tanam dan varietas cabai besar yang digunakan pada budidaya sistem
ambul?
1.3.
Tujuan
Penelitian
Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk :
1.
Mempelajari pertumbuhan
dan hasil dua varietas tanaman cabe besar yang dibudidayakan dengan sistem
ambul.
2.
Mempelajari pengaruh
berbagai media tanam terhadap pertumbuhan dan hasil dua varietas cabai besar.
3.
Mempelajari interaksi
yang terjadi antara media tanam dengan varietas cabai besar yang dibudidayakan dengan sistem ambul.
1.4.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah :
1.
Pertumbuhan dan hasil dua
varietas cabai dipengaruhi oleh sistem ambul.
2.
Pertumbuhan dan hasil
tanaman cabai besar yang dibudidayakan dengan sistem ambul dipengaruhi oleh
jenis media tanam yang digunakan.
3.
Terjadi interaksi
antara media tanam dan varietas cabai besar
pada budidaya sistrem ambul.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kalasifikasi
dan Morfologi tanaman Cabai Besar:
Menurut Rukmana
(1994), tingkat klasifikasi dari tanaman cabai besar yaitu :
Kingdom :
Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio :
Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Sub Kelas :
Metachalimidae
Ordo : Tubiflorae
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum
annum L.
2.2.
Morfologi
Perakaran tanaman cabai merupakan
akar tunggang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder).
Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar tersier). Panjang akar
lateral menyebar sekitar 35-45 cm (Prajnanta,2001).
|
Seperti umumnya suku solanaceae,
bunga cabai berbentuk seperti terompet
(hypocrateriformis). Bunga cabai
merupakan bunga lengkap karena terdiri dari klopak bunga (calyx), mahkota bunga (corrola),
benang sari (stamen), dan putik (pistillum). Alat kelamin jantan betina
terletak dalam satu bunga sehingga disebut kelamin dua (hemaprodit). Bunga cabai biasanya menggantung terdiri dari 6 helai
kelopak bunga berwarna kehijauan dan 5 helai mahkota bunga berwarna putih bunga
keluar dari ketiak daun. Buah cabai merupakan buah sejati tunggal, terdiri dari
satu bunga dengan satu bakal buah. Buah tersusun atas kulit buah berwarna hijau
sampai merah, daging buah dan biji. Permukaan buah rata, licin dan yang telah
masak berwarna merah mengkilat. Panjang buah berkisar antara 9-15 cm, diameter
1-1,75, dan berat bervariasi dari 7,5-15 g kg-1. Panjang tangkai
buah 3,5-4,5 cm, berwarna hijau tua. Buah menggantung, terletak dipercabangan
atau disekitar ketiak daun. Jumlah buah perpohon berkisar antara 150-200 buah
(Nawangsih, Imdad dan Wahyudi, 2003). Biji cabai besar berdiameter 3-5 mm
berwarna kuning, pucat, pipih, dan merekat secara kompak, plasenta mulai dari
pangkal buah dan berakhir pada ujung buah (Setiadi, 1986).
Menurut Setiadi (1986) buah cabe
besar mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi seperti Vitamin A dan C
disamping itu juga mengandung protein, lemak, karbohidarat, kalsium, fosfor,
zat besi, Vitamin B dan air. Kandungan gizi
pada cabe berbeda-beda tergantung kesegaranya. Kandungan cabai besar
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Zat Gizi Buah
Cabai Segar (Cabe Merah Besar) Setiap
100 Gram Bahan
Kandungan
|
Banyaknya
|
Kalori (kal)
Protein (g)
Lemak
Karbohidarat
Kalsium
Fosfor
Besi
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin C
Air
b. d. d. *) (%)
|
31
1
0,3
7,3
29
24
0,5
470
0,05
18
90,9
85
|
Keterangan
: b. d. d. = bagian yang dapat dimakan (kulit, daging dan isinya).
Sumber
:
Departemen Kesehatan, 1989
2.3.
Syarat
Tumbuh
Kisaran pH tanah yang ideal adalah
6-6,5 karena pada pH dibawah 5,5 atau diatas 6,8 hanya akan menghasilkan
produksi yang rendah (sedikit). Tanaman cabai besar umumnya dapat tumbuh
diberbagai jenis tanah dan semua iklim baik pada musim hujan atau musim
kemarau. Namun demikin ada beberapa faktor yang harus diperhatikan agar tanaman
cabai dapat memberikan hasil yang baik. Tanaman cabai dapat tumbuh pada dataran
rendah yang mengandung pasir, yaitu porositas yang cukup baik. Pada tanah yang
airnya menggenang dengan porositas rendah tidak cocok untuk tanam cabai karena
akan mudah terserang penyakit akar, penyakit layu, dan umumnya daun dan buahnya
berguguran (Sunaryono, 1992).
Tanaman cabai lebih senang tumbuh
didaerah beriklim lembab hingga agak lembab. Curah hujan optimum adalah 100 –
200 mm/bulan. Curah hujan yang tinggi dapat merontokan bunga dan buah akibat
curahnya yang deras, namun kekurangan air saat berbunga dapat menyebabkan bunga
akan gugur, karena tidak mampu untuk menyerbuk dan menjadi buah (Sunaryono,
1992).
Bernardinus dan Wiryanto (2002) berpendapat
cabai dapat ditanam pada dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter dpl. Sistem perakarannya
agak menyebar, bentuk
daun ujung dan pangkalnya meruncing dengan letak yang berselang-seling.
Batang utamanya tegak dan berkayu pada pangkalnya, dengan tinggi tanaman 30 - 75 cm. Bunga
pertama muncul dari puncak sumbu utama dan untuk selanjutnya akan muncul ketiak
daun. Warna mahkota bunga putih sampai ungu. Buah dapat berwarna hijau atau ungu
(muda) dan merah, jingga atau kuning (tua). Bentuk buah bervariasi mulai dari
linier, kerucut, bulat atau gabungan dengan posisi buah tegak, dan landai.
Tanaman cabe dapat ditanam pada tanah sawah maupun tegalan yang gembur, subur,
tidak terlalu liat dan cukup air. Permukaan tanah yang paling ideal adalah
datar dengan sudut kemiringan lahan 0 sampai 10 derajat serta membutuhkan sinar
matahari penuh dan tidak ternaungi. pH tanah yang optimal antara 5,5 sampai 7. Penyebab
rasa pedas pada cabai adalah capsaicin yang bervariasi menurut varietas dan
dipengaruhi iklim. Cuaca panas merangsang cabai menjadi lebih pedas. Tanaman cabai menghendaki pengairan
yang cukup.
Pada dasarnya tanaman cabai dapat tumbuh pada
ketinggian antara 0-1800 dari permukaan laut. Suhu rata-rata untuk pertumbuhan
tanaman cabe besar antara 21–25 0C, sedangkan untuk fase pembangunan
dibutuhkan suhu udara antara 18,3–26,7 0C. Suhu yang terlalu tinggi
dapat menurunkan jumlah buah dan suhu rata-rata diatas 32 0C dapat
mengakibatkan tepung sari tidak berfungsi. Kandungan kelembaban tanah juga
berkaitan dengan suhu tanah yang diperlukan akar tanaman, pada tanaman cabai
suhu tanah sebaiknya berkisar 15 0C–28 0C atau paling
tinggi 30 0C (Setiadi, 1986).
Tanaman cabai mudah terserang hama
dan penyakit apabila kelembapan air udara terlalu tinggi. Hama yang bisa
menyerang tanaman cabai yaitu kutu daun, tungau, trips, lalat buah, dan ulat
daun. Sedangkan penyakit yang bisa menyerang busuk buah (Collectrotricchum capsisi), bakteri layu (Pseudomonas solanacearum),
bercak daun (Cercospora),
gugur daun (Oidium sp), dan virus
penyebab kerdil dan kriting daun. Pada tanaman cabe umumnya serangan penyakit
lebih dominan jika dibandingkan dengan serangan hama (Setiadi, 1999).
2.4.
Ambul
Ambul adalah istilah yang
dipakai oleh penduduk sekitar danau-rawa Danau bangkau, Kalimantan Selatan
untuk menamakan media tumbuh dari tumbuhan air mengapung, umumnya eceng gondok
untuk menanam sayuran/palawija (Ardianor, 1992; Gumiri dan Ardianor, 2007).
Ambul dibuat menyerupai keramba ikan, dimana kontruksinya terbuat dari bambu
dan politilen dibuat bahan yang digunakan sebagai media yaitu tumbuhan air.
Dimana media dari tumbuhan air dilakukan dengan cara menumpuk dan menata eceng
gondok sedemikian rupa di atas kumpulan besar eceng gondok yang lainnya yang
biasanya terapung di permukaan danau atau rawa. Setelah ditumpuk eceng gondok
dibiarkan mati dan mengering dan terdekomposisi secara alami, dan dalam waktu
lebih kurang 15 hari sudah dapat ditanami tanaman sayuran/palawija. Setelah
dipanen, ambul biasanya kembali dibersihkan dan sisa tanaman palawija dibiarkan
mati dan membusuk, sebagian penduduk ada yang membakarnya agar terbentuk abu yang mungkin berfungsi
mensuplai kalsium dan unsur hara lainnya. Penambahan kembali eceng gondok yang
berkembang pesat di perairan ke bagian atas ambul bisa terus dilakukan sampai
ambul mencapai ketebalan 50–100 cm, sehingga penanaman kembali untuk musim
berikutnya biasa dilakukan. Secara fisik ambul terlihat seperti sebuah pulau
kecil yang di atasnya tumbuh tanaman sayuran/palawija seperti kacang panjang,
semangka, labu, timun dan lain-lainnya (Ardianor et al, 2007).
Di luar negeri, ambul diistilahkan
dengan floating garden (pertanian
mengambang) yaitu suatu konsep yang menyerupai hidroponik akan tetapi
menggunakan makhluk hidup untuk mengurangi pencemar yang ada di perairan.
Teknik penanaman dengan cara ini dilatar belakangi
oleh keterbatasan lahan dan kondisi lahan yang sudah tidak sesuai dan
memungkinkan lagi untuk bercocok tanam. Di Bangladesh
(Practical Action Foundantion, 2007), masyarakat District Gaibandha menggunakan media dari tanaman air untuk menanam
sayuran/palawija. Hal sama juga dilakukan masyarakat di lembah Mexico, yang
lebih dikenal dengan metode Chinampa. Sementara itu di Chicago, USA, floating garden di buat layaknya pulau
kecil yang kaya warna dan pengunjung dapat menikmati keindahan pulau kecil
tersebut. Teknik ini sangat murah dan bersifat berkesinambungan juga
sangat ramah lingkungan, karena selain mengurangi kadar polutan di air juga
dapat menciptakan udara yang lebih segar bagi daerah di sekitarnya. Budidaya
sayuran mengambang juga dilakukan oleh Burnett (2011) di
danau
Powell. Tanaman yang di budidayakan meliputi dari selada, bayam, wortel,
bawang, kentang, lobak, strawbery dan
asparagus.
2.5.
Tumbuhan
Air
2.5.1.
Eceng
Gondok (Eichhornia crassipes)
Tanaman air yang digunakan sebagai
media ambul adalah eceng gondok, kayambang dan purun
tikus yang keberadaannya sangat banyak di Kalimantan Tengah. Kemampuan
eceng gondok tumbuh dan berkembang mengakibatkan tumbuhan ini dapat menghasil
biomassa yang besar. Berdasarkan hasil penelitian Sittadewi (2007). Media tanam
eceng gondok yang telah dikomposkan menghasilkan produksi sawi hibrida yang
lebih tinggi dari pada media tanam tanah gambut, karena dari hasil analisis
unsur hara media tanam eceng gondok yang memiliki kandungan hara tersedia
membadingkantidak dengan cukup tanah gambut. Dalam pemanfaatan eceng gondok
perlu juga memperhatikan bahwa tumbuhan merupakan akumulator senyawa logam.
Berdasarkan hasil penelitian Juhaeti dan Syarif (2003) tumbuhan eceng gondok,
genjer dan Azolla mampu menyerap
senyawa logam berat Fe, Zn, Pb dan Cd. Akan tetapi kemampuan serapan eceng
gondok terhadap logam berat lebih rendah dibanding tumbuhan genjer dan Azolla. Senyawa logam yang diserap oleh
ketiga tumbuhan tersebut banyak diakumulasikan pada bagian akar tanaman.
2.5.2. Kayambang (Salvinia molesta)
Kayambang
mempunyai batang yang tumbuh menjalar, pada setiap bukunya terdapat sepasang
daun yang mengapung (floating leaves)
dan satu daun berada di bawah permukaan air menggantung dalam air dan membentuk
serabut seperti akar. Batang kayambang merupakan satuan rhizomme horizontal dan
mengapung tepat di bawah permukaan air (Masjid, 1997).
Daun
kayambang mengandung banyak jaringan parenkim. Daunnya berselang, bagian
pangkal daun berlekuk seperti jantung, daun yang mengapung (tidak mudah terbasahi
air, berbentuk elips dan lebarnya tidak melebihi 3 cm. Permukaan atas daun di
tutupi papillae, yanng terdiri atas empat buah yang bersatu pada ujung.
Permukaan bawah dari daun ini gundul, kecuali pada tulang daun terdapat rambut
– rambut yang sederhana bentuknya (Wati, 2007).
Pertumbuhan
kayambang terdiri atas tiga stadium. Pada stadium pertama daunnya kecil-kecil
kurang lebih 1,5 cm, mengapung sejajar dengan permukaan air. Biasanya
diperlukan ruang tumbuh yang tidak terbatas. Ruas-ruas batang cukup panjang,
batang mudah patah dan cepat berkembang biak karena masing-masing potongan
mampu tumbuh membentuk individu baru (Masjid, 1997). Pada stadium kedua
daun-daun berukuran lebar > 2 cm. Bentuk daun seperti perahu terbalik dengan
bagian atas bulat. Bagian bawah dan terutama tulang daun bersentuhan dengan
air. Ruas-ruas batang agak panjang, daun belum saling menutupi. Stadium ketiga
tercapai bila tumbuh terdesak-desakan. Daun-daun lebarnya dapat mencapai 6 cm.
Batang daun lonjong sehingga semakin melebar dengan pinggir daun melekuk
seperti telinga dan agak kasar. Sebagian besar daun tidak menyentuh air, daun
melipat dan tertumpuk satu sama lain. Tumbuh lebih kuat dengan ruas-ruas
relatif pendek. Pada stadium ini biasanya sudah membentuk spokrap (Nguyen, 1974
dalam Wati, 2007).
Jaringan
pertumbuhan kurang berkembang dan mempunyai ruang-ruang udara yang
sambung-menyambung. Kedua sifat ini mempunyai ciri khas dari tumbuhan air.
Stomata tidak sempurna dan hanya terdapat pada permukaan daun sebelah atas
(Masjid, 1997).
Kayambang tidak mampu memperbanyak diri
secara seksual. Kayambang membentuk sporakrap, tetapi perkembang biakan melalui
spora tidak memungkinkan karena pertumbuhan
spora-spora makro tidak sempurna (Nguyen, 1974 dalam Wati, 2007). Perkembangbiakan secara vegetatif keyambang
berlangsung melalui fragmentasi tumbuh tanaman. Regenerasi dari potongan kecil
yang selanjutnya membentuk tunas baru (Nguyen, 1974 dalam Wati, 2007).
Pada
stadium pertama dan kedua batang mudah patah dan setiap ketiak daun dan ujungnya
dapat mengeluarkan tunas pertama bila jaringan tersebut masih muda (Masjid,
1997). Penyebaran kayambang secara alami oleh air. Dalam lingkungan perairan
dapat terbawa oleh kapal, tersangkut jaring penangkap ikan atau hewan yang
meminum air. Penyebaran kayambang yang utama adalah manusia, tumbuhan ini mudah
tumbuh walaupun hanya bagian kecil tumbuhnya dan populasinya cepat, karena
tidak tergantung pada perbanyakan seksual. Pertumbuhan sebagian besar adalah
daun, yang menyebabkan air cepat tertutup (Masjid, 1997).
Berdasarkan penelitian Jumadi (1986),
bahan organik kayambang segar sebanyak 25 dan 50 ton ha-1 dapat
secara nyata menekan populasi Echinochloa
colonum dan berat kering Paspalum
distichum. Tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil gabah kering
gilingan tanaman padi. Pembenaman kayambang segar sebanyak 25 ton ha-1
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi sawah. Dari
hasil penelitian Kaderi (2005), pemberian konsentrat Salvinia molesta 60% efektif meningkatkan tinggi tanaman padi,
jumlah anakan, jumlah malai tiap rumpun, panjang malai, bobot gabah tiap
rumpun, dan jumlah gabah isi.
2.5.3.
Purun Tikus (Eleocharis dulcis)
Jenis tumbuhan
lain yang banyak ditemukan di Kalimantan Tengah adalah purun tikus. Secara
ekologi, tumbuhan purun tikus berperan
sebagai tumbuhan biofilter yang dapat
menetralisir unsur beracun dan kemasaman di lahan sulfat masam dengan
menyerap Fe sebesar 80,0 - 1.559,5 ppm dan SO4 sebesar 7,88 - 12,63
ppm (Jumberi et al., 2004). Purun
tikus dapat menurunkan kandungan Fe dalam tanah pada petak yang ditanami padi
dengan sumber pengairan berasal dari air limbah tambang batu bara,
yaitu dengan serapan Fe rata-rata sebesar 1,1766 mg/l. Padi yang ditanam dengan
purun tikus ternyata memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan
dengan padi yang ditanam tanpa purun tikus.
Purun tikus dapat menjadi sumber bahan organik bagi tanah dan sumber
hara bagi tanaman. Bahan organik purun tikus dapat menyuplai unsur-unsur hara
makro dan mikro yang diperlukan tanaman karena unsur hara yang terkandung dalam
purun tikus adalah N 3.36%, P 0.43%, K 2.02%, Ca 0.26%, Mg 0.42%, S 0.76%, Al
0.57%, dan Fe 142.20 ppm (Aribawa, 2001; Noor et al., 2006 dalam Setyorini, et al, (2009). Demikian halnya dengan tumbuhan kayambang yang juga dilaporkan sebagai fitoremediator logam berat
kadmium pada perairan yang tercemar (Suryati dan Priyatno, 2003).
Purun tikus (Eleocharis
dulcis) dalam ilmu taksonomi tumbuhan digolongkan dalam Cyperaceae
merupakan tumbuhan khas tumbuh di tanah rawa. Tidak seperti eceng gondok yang tumbuh mengapung, purun
tikus menambatkan akarnya pada tanah. Tumbuhan rawa ini banyak ditemui pada tanah sulfat masam dengan tipe tanah
lempung atau humus. Biasanya dapat dijumpai di daerah terbuka atau tanah bekas kebakaran. Batang
tegak, tidak bercabang, warna abu-abu hingga hijau mengkilat dengan panjang
50-200 cm dan ketebalan 2-8 mm. Daun mengecil sampai ke bagian basal,
pelepah tipis seperti membran, ujungnya asimetris, berwarna cokelat kemerahan.
Tumbuhan purun tikus ini dapat dikatakan bersifat spesifik lahan sulfat masam,
karena sifatnya yang tahan terhadap kemasaman tinggi (pH 2,5-3,5). Oleh sebab
hal tersebut, tumbuhan ini dapat dijadikan vegetasi indikator untuk tanah
sulfat masam Aribawa, 2001; Noor et al., 2006 dalam
Asikin, et al (2009).
2.6.
Lahan Rawa
Luas wilayah
Kalimantan Tengah sebesar 153.564 dari luasan tersebut 11 sungai besar dan
tidak kurang dari 33 sungai kecil lahan rawa gambut menempati 32 % dari total lahan rawa
yang ada di Indonesia. Lahan ini
sepanjang tahun atau dalam waktu
yang panjang setahun selalu jenuh air (waterlogged)
atau tergenang. Keputusan menteri PU No. 64/PRT/1993 menyatakan lahan rawa dibedakan
menjadi dua yaitu rawa pasang surut/ rawa pantai dan rawa non pasang surut/
rawa pedalaman (rawa lebak) (Tim Sintesis Kebijakan, 2008). Rawa pedalaman
(rawa lebak) belum banyak dipergunakan untuk pertanian. Pada umumnya air rawa
tersebut berwarna coklat tua sampai kehitaman, berkadar organik tinggi dan
bersifat asam. Tumbuhan yang tumbuh disana adalah tumbuhan sejenis gulma air
yang dapat menggangu pencemaran lingkungan perairan aliran sungai atau rawa.
Rawa lebak yaitu
rawa berasal dari kata air yang selalu menggenangi lahan setiap musim penghujan
atau akibat luapan air sungai yang tidak dapat surut. Sedangkan kata lebak diambil
dari kosakata Jawa yang diartikan sebagai ‘lembah atau tanah rendah. Sedangkan
kata lebak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat
air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam. Rawa lebak
adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal
selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak secara khusus
diartikan sebagai kawasan rawa dengan bentuk wilayah berupa cekungan dan
merupakan wilayah yang dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai (levee)
atau antara dataran tinggi dengan tanggul sungai. Bentang lahan rawa lebak
menyerupai mangkok yang bagian tengahnya paling dalam dengan genangan paling
tinggi. Semakin ke arah tepi sungai atau tanggul semakin rendah genangannya.
Sedangkan rawa lebak yang dimanfaatkan atau dibudidayakan untuk pengembangan
pertanian, termasuk perikanan dan peternakan diistilahkan dengan sebutan lahan
rawa lebak. Rawa
lebak yang sepanjang tahun tergenang atau dibiarkan alamiah disebut rawa
monoton. Karena kedudukannya menjorok masuk jauh dari muara sungai besar sering
disebut juga dengan rawa pedalaman (Noor, 2007).
Rawa lebak juga
dikatakan danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari
sungai pada umumnya dan selalu mendapatkan luapan air (banjir) dari
sungai-sungai besar. Selain karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber
dari curah hujan setempat atau juga banjir kiriman. Genangan di lahan rawa
lebak kadang-kadang bersifat ladung (stagnant) dan kalaupun mengalir,
sangat lambat. Rawa lebak pada musim hujan tergenang karena berbentuk cekungan
dengan drainase jelek. Namun, pada musim kemarau menjadi kering. Pada musim
hujan genangan air dapat mencapai tinggi antara 4 - 7 meter, tetapi pada musim
kemarau lahan dalam keadaan kering, kecuali dasar atau wilayah paling bawah.
Menurut Noor
(2007), klasifikasi atau pembagian tipologi rawa lebak dalam arti luas dapat
didasarkan pada ketinggian tempat, ketinggian genangan, lama genangan, waktu
genangan, jenis ekologi, vegetasi, bentuk wilayah, dan jenis pemanfaatan.
Berdasarkan ketinggian tempat rawa lebak dapat dibagi dua tipologi, yaitu (1)
rawa lebak dataran tinggi dan (2) rawa lebak dataran rendah. Rawa lebak dataran
tinggi/pegunungan banyak ditemukan di Sumatra dan Jawa, sedangkan dataran
rendah (lowland) sebagian besar tersebar di Kalimantan.
Berdasarkan ada
dan tidaknya pengaruh sungai, rawa lebak dibagi dalam tiga tipologi, yaitu (1)
lebak sungai, (2) lebak terkurung, dan (3) lebak setengah terkurung (Kosman dan
Jumberi, 1996) dalam Noor (2007). Batasan dan klasifikasi lebak menurut
ada tidaknya pengaruh sungai sebagai berikut.
1)
Lebak
sungai : lebak yang sangat nyata mendapat pengaruh dari sungai sehingga tinggi
rendahnya genangan sangat ditentukan oleh muka air sungai.
2)
Lebak
terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan ditentukan oleh besar kecilnya
curah hujan dan air rembesan (seepage) dari sekitarnya.
3)
Lebak
setengah terkurung : lebak yang tinggi rendahnya genangan di tentukan
oleh
besar kecilnya curah hujan, rembesan, dan juga sungai sekitarnya.
Lahan rawa
lebak menurut terminologi landform
adalah backswamp (rawa belakang) yang
menjadi land facet cekungan. Lahan
rawa lebak biasanya berada di kiri kanan sungai besar dan memiliki topografi
datar. Posisinya berada di belakang tanggul sungai (levee). Tanah di lahan ini tidak mengandung bahan sulfidik karena
berasal dari bahan endapan sungai dan tanah yang terbentuk adalah tanah
alluvial. Sifat morfologi tanah rawa lebak adalah memiliki kondisi alumnik
(berdrainase terhambat atau sangat terhambat). Sifat kimia tanah menunjukkan
kandungan C-organik tinggi, kapasitas tukar kation (KTK) bervariasi sekitar
10-40 me/100 g tanah, ketersediaan kation - kation basa antara sangat rendah –
rendah dan pH tanah 3,0–5,5 (sangat masam–masam) (Djamhari, 2010). Dari aspek lingkungan, rawa
lebak berfungsi sebagai pengendali luapan air saat kejadian banjir dan pasca
banjir (Djaenuddin, 2009).
3.1.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari
bulan Desember 2013 hingga bulan April 2014. Bertempat Di Jalan Arut Bawah Kecamatan Jekan Raya
Kelurahan Palangka Raya.
3.2.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan antara
lain benih cabai merah varietas lokal Wibawa, varietas unggul Arimbi, eceng
gondok, kayambang, purun tikus, kapur dolomit, furadan, fungisida, insektisida,
abu bekas bakaran, pupuk kandang kotoran ayam, pupuk NPK, Urea, KCL, pupuk grandtonik,
grand-K dan polibag kecil ukuran 5 cm x 7 cm.
Alat yang digunakan antara
lain parang, cangkul, gergaji, palu, paku, kayu papan, kayu bulat, bambu, tali tambang, ajir, meteran, timbangan, kamera, alat tulis dan alat lain
yang menunjang dalam penelitian.
3.3.
Metode penelitian
Penelitian ini
menggunakan Rancangan Petak Terbagi (RPT) dengan dasar Rancangan
Acak Kelompok (RAK) sebagai rancangan lingkungan.
Sebagai petak utama adalah 3 media tanam tanaman
rawa yaitu :
T1 = Eceng gondok
T2 = Kayambang
T3 = Purun tikus
|
Sedangkan anak petak adalah 2 varietas tanaman cabai
merah besar yaitu :
V 1
=
Unggul (Arimbi)
V 2
=
Lokal (Wibawa)
Setelah
kedua perlakuan dikombinasikan diperoleh 6 kombinasi perlakuan yang disajikan pada
tabel 2.
Tabel 2. Kombinasi Perlakuan Media Tanam Dan Varietas Cabai
Besar Yang
Berbeda.
Jenis Media Tanam
|
Jenis Varietas Cabai
|
|
V1
|
V2
|
|
T1
|
T1V1
|
T1V2
|
T2
|
T2V1
|
T2V2
|
T3
|
T3V1
|
T3V2
|
Masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 4 kali, sehingga diperoleh 24 buah satuan percobaan.
Model
linier aditif yang digunakan dalam
penelitian ini menurut Steel dan Torrie (1991) adalah sebagai berikut :
Model
linier aditif untuk merancang percobaan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
Yijk =
Yijk =
pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi
perlakuan
taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B
= nilai rata-rata yang sesungguhnya (rata-rata populasi)
= nilai rata-rata yang sesungguhnya (rata-rata populasi)
= pengaruh aditif dari kelompok ke-k
= pengaruh aditif ke-i dari faktor media tanam eceng gondok, kayambang
dan purun tikus
= pengaruh aditif ke-j dari faktor varietas arimbi dan varietas wibawa.
= pengaruh acak dari petak utama, yang muncul
pada taraf ke-i dari faktor A
dalam
kelompok ke-k. Sering disebut galat petak utama.
˜ N (0,oy2).
=
pengaruh aditif ke-i dari faktor A dan
taraf ke-j dari faktor B
= pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k
yang memperoleh kombinasi
perlakuan
ij. Sering disebut galat anak petak.
˜ N (0,o
2).
3.4.
Pelaksanaan Penelitian
3.4.1.
Pembuatan Ambul
9 m
|
Gambar 1.
Konstruksi ambul
Cara pembuatan yaitu :
1.
Bambu yang sudah kita potong sesuai dengan panjang yang kita butuhkan ± 3,50
m - 9 m, diikat erat menjadi 1 sehingga menjadi sebuah rakit dan menyerupai keramba
ikan. Dibagian tengahnya diberi ruang yang berfungsi sebagai tempat menumpuknya media tanam yaitu tumbuhan air seperti eceng gondok, kayambang dan purun tikus. Dengan teknis pengisian ambul dilapangan yaitu
menggunakan sistem ubinan untuk setiap anak petak perlakuan.
2.
Media yang akan digunakan seperti eceng gondok, kayambang dan purun tikus
dimasukan dengan cara dibalik yaitu akar berada dibagian atas air. Sedangkan untuk purun tidak dibalik melainkan disusun horizontal. Kemudian dicacah hingga menjadi
ukuran ± 15 cm. Setelah ketebalan mencapai ± 30 cm, dilakukan penyisipan
menggunakan kayu bulat untuk memperkuat
media ambul agar mengurangi daya penipisan media yang
cepat.
3.
Penumpukan kembali dengan tumbuhan air dan dicacah kembali hingga
ketebalan mencapai ketebalan ± 70 cm.
4.
Menginkubasi media selama ± 2 minggu.
5.
Setelah 1 minggu media dapat digemburkan dengan dicangkul agar menjadi
gembur dan ditaburkan kapur dolomit untuk menetralkan pH dibiarkan hingga ± 5 hari . Setelah itu siap untuk ditanami.
3.4.2.
Persiapan Lokasi Penyemaian
Lokasi penyemaian atau pembibitan dibersihkan dari
rerumputan dan tumbuhan yang tidak di inginkan, kemudian disisihkan atau
dikumpulkan pada tempat luar area pembibitan. Selanjutnya menyiapkan tempat
bedengan untuk penyemaian yang tingginya 30-70 cm dengan lebar 80-100 cm dan
panjang 100-150 cm. Bibit disemai pada plastik polibag kecil berukuran 5 cmx 7
cm, yang sudah diberi pelakuan dengan tanah yang dicampur pupuk kandang kotoran
ayam atau abu bakaran.
3.4.3.
Penyiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan
adalah eceng gondok, kayambang dan purun tikus yang sudah di inkubasikan selama
± 2 minggu. Media tanam kemudian dibagi sesuai dengan petak perlakuan.
Dasar air
|
Kayu
bulat/bambu
|
Media
tanama eceng gondok/kayambang/
purun
tikus
|
Media
tanama eceng gondok/kayambang/ purun
tikus
|
|
Tanaman
budidaya
|
|
Gambar 2. Bahan lapisan
pada konstruksi ambul yang digunakan dari yang
dilakukan di Bangadesh (Practical Action Foundation, 2007)
3.4.4.
Penyemaian Benih dan Penanaman
Sebelum penanaman benih terlebih
dahulu direndam pada air hangat selama 12 jam atau 24 jam, untuk
mempercepat proses pertumbuhan biji menjadi kecambah. Jumlah benih yang disemaikan
lebih banyak dari jumlah tanaman yang dibutuhkan, yang bertujuan sebagai cadangan
penyulaman.
Setelah dilakukan penyemaian
kemudian memilih bibit yang seragam, sehat, kuat dan tumbuh mulus, bibit memiliki
4-6 helai daun atau tanaman sudah berumur 20 - 25 hari setelah semai dengan tinggi rata-rata ± 5-10 cm. Penanaman dilakukan pada sore hari saat cuaca tidak terlalu panas. Dengan
jarak tanam antar tanaman 40 cm dan 50 cm dalam baris tanaman. Jarak antar
tanaman dengan pinggir dan jalan pengamatan 40 cm.
3.4.5.
Pemupukan
Pemberian pupuk kandang ayam
dan dolomit dilakukan setelah 2 minggu inkubasi media tanam eceng gondok,
kayambang, purun tikus. Pupuk kandang kotoran ayam ini sebagai pupuk dasar yang
dilakukan langsung secara disebar pada media ambul yang sudah digemburkan. Selanjutnya
pemberian pupuk NPK, dilakukan saat tanaman berumur 2, 4, 6, 8 MST. Grandtonik adalah pupuk daun dilakukan dengan cara disemprotkan ke bagian daun tanaman
sebanyak lima kali sesuai perlakuan dengan interval 7 hari sekali, yaitu pada
umur 14 hst, 21 hst, 28 hst, 35 hst dan
42. Aplikasi pupuk daun ini dilakukan dengan melarutkan
pupuk sesuai konsentrasi perlakuan dalam dua liter air.
3.4.6.
Pemeliharaan
Pemeliharaan
tanaman merupakan salah satu rangkaian kegiatan budidaya tanaman cabai, yang
menjadi penentu keberhasilan budidaya. Secara keseluruhan kegiatan pemeliharaan
ini dilakukan sejak benih ditanam hingga panen yang meliputi :
a.
Penyulaman
Penyulaman dilakukan saat
tanaman berumur 7 - 14 hst tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan normal atau mati perlu dilakukan penyulaman
kembali dengan bibit yang masih ada disemaian.
b.
Pemasangan ajir
Pemasangan ajir dipasang di samping lubang tanam. Pemasangan anjir dilakukan pada saat tanaman sebelum ditanam,
supaya tidak mengganggu pertumbuhan dan ajir tersebut
berfungsi sebagai
penompang tanaman agar tidak roboh pada saat hujan
atau tertiup angina kencang.
c.
Perompesan atau pemangkasan
Pemangkasan dilakukan sebanyak 3 kali,
pertama pada umur 15, 30
dan 45 HST. Bagian yang dipangkas pucuk tanaman cabai dari cabang
primer, dan sekunder dengan faktor pemangkasan 10%, 20% dan 30%. Pemangkasan
10% pada pemangkasan pertama pada 15 HST hanya dipangkas pada bagian daun yang
paling bawah dan pemangkasan 20% dipangkas pada bagian kedua dari
daun yang terbawah sedangkan pemangkasan 30% pada 15 HST dilakukan pemangkasan
dengan meninggalkan dua daun tanaman cabai. Pemangkasan 10% pada pemangkasan kedua
pada hari 30 HST teknik pemangkasan yang dilakukan tidak berbeda
dengan pemangkasan pada 15 HST, hanya saja pada pemangkasan 10 % ini
dipangkas tangkai pertama dari bawah pangkal tanaman cabai dan pemangkasan 20 %
dipangkas dua tangkai di bawah pangkal batang cabai sedangkan pemangkasan 30 %
hanya menyisakan satu cabang tangkai sehingga berbentuk huruf ‘Y’. Pemangkasan
ketiga pada umur 45 HST dilakukan dengan mebuang tunas air dan cabang-cabang
non-produktif dengan teknik pemangkasan yang diterapkan pada hari pemangkasan
30 HST tetapi pada 45 HST daun yang berdekatan dengan buah cabai dibuang.
d.
Pembubunan
Pembubunan yaitu
dilakukan jika tanah disekitar perakaran atau batang bawah tanaman cabai
berkurang akibat air hujan ataupun karena penyiraman
e.
Penyiangan gulma
Penyiangan gulma dilakukan, jika
ada rumput atau tumbuhan yang tidak di ingkan berada disekitar tanaman budidaya.
Karena dapat menjadi pesaing khususnya dalam hal kebutuhan unsur hara dan sinar
matahari. Maka penyiangan gulma dapat langsung dibersihkan dengan cara dicabut
langsung.
f.
Pengendalian hama penyakit
Selama
pelaksanaan penelitian, pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan pemberian insektisida dan pestisida yang dijual dipasar, sesuai
dengan jenis hama dan penyakit yang menunjukan
adanya gejala serangan pada tanaman. Yang dapat dilihat pada
lampiran 4.
3.4.7.
Panen
Panen
dilakukan terhadap buah yang masak atau tua dengan kriteria buah berwarna hijau
kemerahan sampai dengan merah penuh dan buah tampak berisi padat. Bila
kemasakan buah telah mencapai 70 % dalam satuan
petakan maka dapat dilakukan panen. Panen dilakukan sebanyak 3 kali. Panen pertama dilakukan setelah berumur ± 80
hst, dilanjutkan panen kedua pada 90 hst, dan panen ketiga pada
100
hst.
3.5.
Variabel Pengamatan
Untuk mengetahui pengaruh
media tanam eceng gondok, kayambang, purun tikus terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman cabai ada dua variabel Pengamatan yang dilakukan yaitu :
1.
Variabel Utama
a.
Tinggi Tanaman (cm), diukur mulai pangkal batang utama sampai titik tumbuh tertinggi. Pengukuran dilakukan pada saat
tanaman berumur 2, 4, 6, 8, 10 MST.
b.
Bobot basah
akar, akar yang dicabut dari ambul dibersihkan dari sisa bekas media tanam
ambul dan dilakukan penimbangan menggunakan timbangan analitik.
c.
Bobot
kering akar, akar yang telah dioven pada suhu 80 0C
selama 48 jam yang setelah itu ditimbang menggunakan timbangan analitik.
d.
Jumlah cabang produktif, dihitung semua cabang yang menghasilkan buah pada umur 80 HST
e.
Jumlah buah per
tanaman dihitung pada saat panen pertama sampai terakhir.
f.
Berat buah per perpetak tanaman
perlakuan (g) diperoleh dengan menimbang
berat buah segar pada
saat panen pertama sampai terakhir.
g.
Nisbah
Tajuk Akar (NTA), yaitu perbandingan antara bobot kering tajuk dengan bobot
kering akar pada umur 100 hst, dihitung dengan rumus (Gardner et al, 1991)
Bobot
kering tajuk
Bobot
kering akar
|
2.
Variabel Pendukung
a. Analisis media tanam dilakukan pada awal setelah inkubasi 2 minggu,
sedangkan analisis akhir dilakukan sesudah panen akhir pada umur 110 hst yaitu :
N, P, K, C-Organik, Kapasitas Tukar Kation, pH, N/C ratio, Kejenuhan Basa dan Analisis Air Rawa di Sekeliling Ambul.
3.6.
Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh
perlakuan, maka data hasil pengamatan dilakukan analisis ragam (uji F) pada
taraf α = 5% dan α = 1%. Jika terdapat pengaruh perlakuan maka dilanjutkan
dengan uji nilai tengah menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf α = 5%
untuk mengetahui perbedaan antara taraf perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, S. 2009. Biomassa Purun Tikus (Eleocharis dulcis Trin.) pada Tiga Titik Sampling di Desa Puntik Kecamatan Alalak
Kabupaten Barito Kuala. Bioscientiae Vol. l6 No 1 Edisi Januari 2009. http://unlam.ac.id/bioscientiae. [online] (Verified 29 Februari 2012)
Ardianor. 1992.
Distribusi dan Kepadatan Makrozoobenthos Serta Beberapa Parameter Fisik-Kimia
di Perairan Danau Bangkau. Skripsi, tidak dipublikasi. Fakultas Perikanan,
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru. Kalimantan Selatan.
Ardianor, Buchar T, Handayani T, Wulandari L,
Aunurafik, Liwat Y, Najamudin A, Gumiri S. 2007. Ambul : A traditional farming
system on open water in Kalimantan. Proceeding of International Workshop on :
Human Dimension of Tropical Peatland Under Global Environmental Changes.
December 8-9. Bogor Indonesia.
Aribawa. 2001. Biomasa Purun
Tikus Sebagai Penyuplai Unsur Hara Tanaman Dan Tanah. Laporan Penelitian
Tumbuhan Air Purun Tikus. http:// goo.id [online] (Verified 22 Maret 2012)
Arisandi. 2006. Hasil Analisis Tumbuhan Air. Gramedia
Pustaka. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Tanaman
Hortikultura Di Kalimantan Tengah 2011/2012. Badan Pusat Statistik, Kalimantan
Tengah. Palangka Raya
Bernardinus, T dan Wiryanto, W. 2002. Bertanam
Cabai pada Musim hujan. Penebar Swadaya. Jakarta. Halm 112.
Burnett .2011. Amazing
vegetables Floating Garden. file:///G:/floating-vegetable-garden-grows-on-lake.htm.
[online]
(Verified 22 Maret 2012.
Djaenudin, U.D.
2009. Prospek Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan di Wilayah Indonesia.
Pengembangan Inovasi Pertanian Vol 2 No 4. http://lipi.go.id [online] (Verified 5 Maret
2012).
Gopal B. 1987. Water hyacinth-Aquatic Plant Studies.
Elsevier Science Publishing Co. New York halm : 471.
|
Irfan dan Shardendu. 2009. Penambahan Bahan
Organik Sebagai Unsur Hara Tanaman. Skripsi. Jurusan Pertanian, Universitas
Gajah mada.
http://Pengaruh
Pemberian Unsur Hara.go.id [online] (Verified 5 Maret 2012).
Juhaeti, T dan
Syarif, F. 2003. Studi Potensi Beberapa Jenis Tumbuhan Air untuk Fitoremediasi.
Laporan Teknik 2003. http://lipi.go.id [online] (Verified 5 Maret
2012).
Jumadi, 1986.
Pengaruh Kayambang Sebagai Bahan Organik Dan Sistem Penyiangan Terhadap
Pertumbuhan Gulma, Pertumbuhan Hasil Tanaman Padi. Jurusan Budidaya pertanian.
Fakultas Pertanian. Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Jumberi, S. 2004.
Perairan sebagai Lahan Bantu dalam Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Lebak.
Jurnal Hidrosfir Indonesia ISSN 1907-1043 Vol 5 No 3 Edisi Desember 2010. http://ejurnal.bppt.go.id/ [online] (Verified 5 Maret
2012).
Kaderi, M. 2005.
Pengaruh Pemberian Kompos Kayambang Untuk Pertumbuhan dan Hasi Tanaman Padi. Makalah
Penelitian Kompos Sebagai Bahan Pengganti Pupuk Anorganik. Bandung. http://kompos.bppt.go.id/ [online]
(Verified 5 Maret 2012).
Komsan. 1996. Perairan sebagai Lahan Bantu dalam
Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa Lebak. Jurnal Hidrosfir Indonesia.
Masjid. 1997.
Pemanfaatan Tumbuhan Perairan Sebagai Kompos. Hasil Penelitian Peningkatan Hara
Tanah Secara Organik. Bogor. http://manfaattumbuhanair.go.id/ [online] (Verified 5 Maret
2012).
Nguyen,
1974. Report On The Aquatic Weed Problema Of The Brantas River Multipurpose
Project. Biotrop. Bandung.
Noor,
M. 2007. Pertanian Lahan Rawa Lebak. Kanisus. Yogyakarta.
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang
Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Penghujan. Agromedia.
Jakarta.
Pracaya. 1994. Bertanam
Lombok. Kanisius. Yogyakarta.
Practical Action Foundation. 2007. Floating Garden in Bangladesh: Practical Action.
http://practicalaction.org/climatechange_floatinggardens. [online]
(Verified 26 Februari 2012)
Rukmana, R. 1994. Budidaya
Cabai Hibrida. Yogyakarta.
Ryan, A.
2004. Analisis Usaha Tani.
Makalah Agribisnis Kalimantan Tengah. Palangka Raya.
Setiadi. 1986.
Betanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setiadi. 1999.
Betanam Cabai Dimusim Penghujan. dalam
Nani Sumarni (ed). Laporan Budidaya Cabai Merah Di Luar Musim Kemarau (off season). Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. Bandung.
Setyorini, A., Krisdianto, dan Asikin, S.
2009. Biomassa Purun Tikus (Eleocharis
dulcis Trin). pada Tiga Titik
Sampling di Desa Puntik Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala. Bioscientiae
Vol 6 No 1 Edisi Januari 200 9. http://unlam.ac.id/bioscientiae. [online] (Verified 29 Februari 2012).
Sittadewi, E.H.
2007. Pengolahan Bahan Organik Eceng Gondok menjadi Media Tumbuh untuk
Mendukung Pertanian Organik. Jurnal Teknik Lingkungan ISSN 1441-318X Vol 8 No 3
Edisi September 2007. http://ejurnal.bppt.go.id/ [online] (Verified 5 Maret 2012).
Steel dan Torrie. 1991. Pengacakan dan Tata Letak
RPT. http:// Rancangan Percobaan model linier dan analisis ragam, contoh
percobaan.co.id/rancob. [online]
(Verified 12 januari 2012 ).
Sunaryono. H. 1992. Budidaya Cabe Merah. Sinar Baru.
Bandung.
Suryati T dan Prayitno B. 2003. Eliminasi logam berat cadmium dalam air
limbah menggunakan tanaman air. J.Tek.Ling.P3TL-BPPT 4 (3) : 143-147.
Wati, N, 2007. Pengaruh
Pemberian Kayambang (Salvinia molesta) terhadap pertumbuhan dan hasil jagung
semi pada tanah gambut pedalaman. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian.
Universitas Palangka Raya. Palangka Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar